Tingkat Investasi Tinggi, Apa kabar Kesejahteraan Rakyat ?
Penulis : Lilis Suryani ( Guru Dan Pegiat Literasi)
Ada hal menggelitik saat membaca judul sebuah artikel di salah satu media online ' Jabar Banjir Investasi Tapi Kaum Miskin Sejibun, Kok Bisa?. Jika media saja heran, apalagi dengan masyarakat umum. Padahal selama ini, investasi sering disebut-sebut sebagai solusi bagi permasalahan ekonomi di negeri ini, termasuk di Jawa Barat.
Pemprov Jawa Barat mengklaim bahwa wilayahnya mengalami pertumbuhan tertinggi di Indonesia pada 2022, bahkan masuk lima besar. Hal ini dilihat dari investasi di Jawa Barat yang terbilang tinggi, Kementerian Investasi atau Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, Jabar menempati posisi pertama sebagai lokasi investasi terbesar sepanjang 2022.
Menariknya, pada tahun yang sama, provinsi ini ternyata mencatatkan jumlah orang-orang miskin dan tingkat penganggurannya yang banyak. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Jumlah penduduk miskin di Jawa Barat menjadi yang tertinggi kedua hingga September 2022. Jumlah penduduk miskinnya mencapai 4,05 juta orang, sedikit di bawah Jawa Timur yang menempati posisi teratas sebanyak 4,24 juta orang.
Kedua fakta ini menunjukan, tingginya investasi tidak berbanding lurus dengan tingginya kesejahteraan. Kenyataannya yang terjadi justru tingginya kemiskinan dan pengangguran. Tentu hal ini menjadi hal yang menarik untuk dibahas.
Terlebih, saat investasi tidak berimbas bagi kesejahteraan masyarakat, maka yang menjadi pertanyaan, siapakah yang diuntungkan ? Karena rupanya tidak semua masyarakat mendapat imbas positif dari investasi tersebut.
Fakta bahwa investasi dipandang sebagai salah satu sumber utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi hal yang tidak bisa dinafikan. Maka tidak aneh, banyak negara di dunia berlomba-lomba membuka dan membebaskan pintu ekonomi mereka serta memberikan tempat senyaman mungkin bagi para investor asing. Termasuk Jawa Barat yang menjadi wilayah paling diminati para Investor karena berbagai kemudahan dan privilege yang diberikan pemerintah.
Padahal, melihat fakta yang tadi disebutkan, patut diduga bahwa Investasi hanya dijadikan sebagai penjajahan gaya baru sistem kapitalisme pada era globalisasi. Para ekonom lupa bahwa sistem ini lahir dari asas sekularisme ( memisahkan antara prinsip agama dengan kehidupan), diperparah dengan prinsip kebebasan. Para pemodal (swasta) akan bersaing dengan penuh tipu daya dan membabi buta untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya.
Pemodal yang kuat akan melumpuhkan yang lemah, jadilah korporasi raksasa yang akan menguasai ekonomi dunia. Tidak heran jika kekayaan orang-orang terkaya dunia mengalahkan kekayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) suatu negara.
Atas nama investasi pula, kaum kapitalis menguasai dan mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) di negara-negara berkembang (miskin). Demikian juga SDM-nya diiming-imingi lapangan kerja, tetapi dengan gaji murah.
Selain itu, kenaikan gaji sulit bisa terealisasi karena tingginya tingkat pengangguran. Mau tidak mau, berapa pun gaji yang ditawarkan perusahaan, harus diterima daripada tidak ada penghasilan sama sekali. Di samping itu, harga-harga kebutuhan juga selalu naik. Akhirnya rakyat menjadi “sapi perah” korporasi.
Padahal sejatinya, masyarakat tidak butuh investasi, melainkan butuh realitas pengurusan negara terhadap hak-hak mereka. Hak-hak itu bukan sekadar terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, atau papan (perumahan), melainkan juga hak hidup aman, sehat, mendapatkan keadilan, menuntut ilmu, serta hak untuk bahagia berkeluarga dan untuk menerapkan aturan agama secara kafah. Juga termasuk hak untuk hidup secara manusiawi (sesuai fitrah). Namun, itu tidak mungkin bisa terealisasi oleh investasi dan sistem kapitalisme sekuler.
Menyoal Investasi, penulis menilai hanya menjanjikan adanya lapangan kerja, tetapi tidak semua rakyat bisa terserap. Investasi hanya menjanjikan pekerjanya dapat gaji, tetapi tidak menjanjikan gajinya itu mampu mencukupi segala kebutuhan sandang, pangan, dan papannya. Untuk perkara ini saja, investasi tidak mampu memenuhi hak rakyat, apalagi pemenuhan hak lainnya.
Kapitalisme memang tidak memiliki konsep pemenuhan kebutuhan rakyat Individu per individu. Indikator yang dipakai hanya pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang dihitung secara general, sedangkan segala hak itu dibutuhkan oleh masing-masing individu.
Hal ini disebabkan pemenuhan kebutuhan setiap individu rakyat hanya bisa dilakukan oleh negara, bukan korporasi apalagi diserahkan kepada masing-masing rakyat; negara yang memiliki fungsi sebagai pelayan rakyat, bukan regulator. Tentu saja negara seperti ini hanya bisa ditemukan dalam sistem Islam.
Sebagaimana yang pernah tercatat dalam sejarah, bahwa negara dalam Islam akan tunduk dalam aturan yang bersumber dari Wahyu Allah, sebagaimana negara Islam pertama yang didirikan oleh Rasulullah SAW.
Berkaca pada aktivitas yang dilakukan Rasulullah dalam bernegara diketahui bahwa Allah Swt telah mengatur negara sebagai pelayan rakyat, termasuk tata cara (metode) negara untuk mampu melakukan itu semua. Mulai dari pemerincian hak-hak rakyat yang harus dipenuhi, hingga sumber dana untuk pemenuhan hak tersebut.
Sumber dana itu telah diatur dalam bentuk pengelolaan harta milik umum berupa barang tambang, laut, hutan, dan milik negara (jizyah, kharaj, ganimah, dan zakat) oleh Baitulmal secara langsung, bukan oleh investor. Negara tidak boleh menggunakan prinsip untung rugi atau beban, melainkan prinsip “rakyat adalah amanah” yang harus dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.
Dengan dasar inilah negara akan menyediakan lapangan kerja bagi warga negara, baik dalam akad ijarah maupun pemberian (iqtha’) modal atau pinjaman tanpa riba dari kas Baitulmal bagi warga negara yang ingin berwirausaha. Bukan seperti saat ini yang menjadikan bank sebagai sumber pemodalan riba. Dengan demikian, rakyat akan memiliki penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papannya.
Untuk kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan keamanan, negara memberikan fasilitas secara gratis tanpa diskriminasi, baik muslim maupun nonmuslim, kaya maupun miskin. Semua pembiayaan itu bersumber dari kas Baitulmal, bukan dari pajak yang dipalak dari rakyat.
Negara pada saat itu menerapkan aturan Allah Taala secara terintegrasi dan berkesinambungan. Dengan demikian, seluruh hak rakyat akan diatur secara amanah oleh negara, bukan diserahkan pada masing-masing individu rakyat.
Semua aspek yang terintegrasi inilah yang menjadi konsekuensi logis, negara berdasarkan syariat Islam mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Seperti yang diungkap oleh Will Durant, seorang sejarahwan Barat. Dalam buku yang dia tulis bersama Istrinya Ariel Durant, Story of Civilization, dinyatakan, “Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama beradab-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka.”
Meskipun cerita terkait kegemilangan negara yang berlandaskan pada syariat Islam telah menjadi sejarah. Namun, bukan berarti tidak bisa diterapkan kembali. Karena tujuan dari belajar sejarah adalah mengambil pelajaran agar bisa memperbaiki masa depan.
Tidak ada komentar