Sistem Ekonomi Islam Solusi Jitu Kondisi Saat Ini
Penulis Naskah : Oleh Siti Susanti, S.pd.
Pandemi memberi efek kepada berbagai aspek kehidupan, termasuk perekonomian. Meski begitu, pemerintah Jawa Barat mengumumkan mengalami pertumbuhan ekonomi.
Sebagaimana dilansir bisnis.tempo.co, Jawa Barat (Jabar) pada triwulan II/2021 secara year on year (yoy) melejit 6,13 persen, sedangkan secara kumulatif hingga triwulan II/2021 tumbuh 2,54 persen. Hal ini diklaim karena kerja keras gubernur Jabar Ridwan Kamil dalam mendatangkan investasi dan program-program menaikkan ekspor Jawa Barat.
Namun hal yang kontradiktif, saat ekonomi diklaim mengalami pertumbuhan, disisi lain berbagai stakeholder merasakan hal sebaliknya, yaitu kesulitan berusaha. Diantaranya sebagaimana disampaikan Badan Pimpinan Daerah (BPD) Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat menyatakan sebanyak 560 hotel dan 280 restoran di wilayah Jawa Barat tutup akibat pandemi COVID-19. (6/7)
Tidak hanya pengusaha hotel dan restoran saja, kesulitan berusaha dirasakan hampir semua kalangan, termasuk para pedagang hingga rumah tangga. Belum lagi harga-harga naik, sementara pemasukan berkurang bahkan tidak ada. Maka pengangguran, kekurangan gizi, hingga kelaparan semakin menyeruak di kalangan masyarakat.
Dalam sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini, angka pertumbuhan ekonomi digunakan sebagai alat ukur kesejahteraan rakyat. Telah banyak para ekonom mengkritik terkait hal ini. Mengukur kesejahteraan hanya dari pertumbuhan ekonomi dan Produk Domestik Bruto (PDB), tetapi mengabaikan fakta ketimpangan ekonomi di tengah masyarakat. Dengan kata lain, fokus pada peningkatan produksi barang dan jasa, sementara distribusi terabaikan.
Fokus terhadap angka-angka dalam mendeteksi parameter capaian, memang pada akhirnya tidak akan mampu memberikan gambaran ril kondisi kesejahteraan masyarakat. Sehingga, kebijakan-kebijakan yang dijalankan-pun tidak mampu mengentaskan kemiskinan, justru menjadikan kesejahteraan menjadi sekedar angan-angan.
Dengan paradigma kapitalistik, alih-alih mengentaskan kemiskinan, para pemilik kendali kebijakan malah bertindak sebagai fasilitator bagi para pemilik modal dengan mengeluarkan berbagai kebijakan untuk kelancaran bisnis mereka.
Di sisi lain, sistem kapitalisme memiskinkan karena tidak memiliki konsep/batasan terkait kepemilikan. Sehingga, siapa yang memiliki modal besar, dialah yang akan mampu melakukan pengelolaan terhadap berbagai bidang, meski pada aset vital milik masyarakat/negara. Hal ini berkonsekuensi minimnya pemasukan negara dan akhirnya tergantung kepada investasi baik dari dalam dan luar negeri.
Adapun Islam, membangun kehidupan berdasarkan keimanan. Termasuk dalam aspek ekonomi, halal haram di jadikan patokan. Dengan paradigma seperti inilah, syariat Islam datang tidak lain untuk memelihara kehidupan manusia.
Konsep kesejahteraan Islam sangat berbeda secara diametral dengan sistem kapitalisme. Ekonomi Islam fokus pada capaian per individu, sehingga akan bisa mendeteksi masalah dengan cepat sebelum makin parah.
Sistem ekonomi Islam terbukti berbuah produktivitas, stabilitas, serta distribusi yang adil dalam rentang waktu 13 abad lebih. Tanpa pernah mengalami defisit APBN akut, tidak pernah mengalami turunnya daya beli simultan, tidak pernah mengalami krisis ekonomi siklik, apalagi resesi dan depresi.
Konsep global sistem Islam terkait kesejahteraan adalah sebagai berikut:
Pertama, standar sejahtera adalah terpenuhinya kebutuhan pokok baik sandang, pangan, dan papan dengan ukuran ma'ruf (memadai).
Sebagaimana firman Allah SWT: "Dan kewajiban ayah memberi nafkah dan pakaian mereka dengan cara ma'ruf. " (Q.S. Al-Baqarah 233)
Negara akan mengusahakan memenuhi kebutuhan ini secara tidak langsung yaitu dengan membuka kesempatan pekerjaan bagi rakyat misalnya membuka lapangan kerja padat karya.
Dalam kondisi krisis semisal pandemi, negara akan memberikan kebutuhan pokok ini secara langsung kepada rakyat yang terdampak.
Kedua, indikator kesejahteraan dihitung orang perorang.
Jika ada satu orang yang terhalang pemenuhan kebutuhan pokoknya baik sandang, pangan, maupun papan maka alarm negara akan berbunyi, dan segera diselesaikan untuk memenuhinya.
Untuk memperoleh hal ini, butuh sensus dari rumah ke rumah (termasuk ke para tunawisma), butuh survei yang teliti, kejujuran laporan, analisis yang tepat, dan lain-lain.
Ketiga, peran negara sebagai pelayan masyarakat, bukan sekedar sebagai fasilitator.
Sebagaimana hadits Nabi SAW: "Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.’” (HR Ibnu Asakir, Abu Nu’aim).
Tugas utama penguasa sebagai pelayan rakyat terfokus dalam dua hal, yaitu hirosatuddin dan siyasatuddunya (melindungi agama mereka dan mengatur urusan dunia). (Al-Ahkam as-Sulthoniyah, juz I, hlm 3).
Dengan penetapan peran ini, maka berbagai upaya negara terhadap pemenuhan kesejahteraan rakyat dilakukan secara segera dan serius, semisal kerumitan dalam sensus rakyat tetap dilakukan untuk mengetahui kondisi ril masyarakat. Saat data ril didapatkan, maka penangananpun segera dilakukan.
Semua ini dilakukan sebagai konsekuensi keimanan dimana amanah yang dilaksanakan akan berbuah pahala, dan demikian sebaliknya jika khianat akan mendapatkan siksa.
Keempat, harta kepemilikan rakyat ditetapkan sebagai sebagai milkiyyah amah(milik umum), semisal barang tambang, hutan, dan sumber air.
Sebagaimana sabda Nabi SAW : "Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api".(HR Abu Dawud dan Ahmad).
Hasil pengelolaan harta milik umum inilah sebagai salah satu sumber pemasukan keuangan negara.
Sumber pemasukan negara yang lain adalah dari kharaj (pungutan tanah produktif) dan zakat (yang dialokasikan hanya untuk delapan asnaf).
Dengan sumber-sumber pemasukan ini, pendapatan negara akan besar dan mampu mengantarkan kepada kemandirian negara.
Kelima, penghapusan pajak (tax), dan penetapan dharibah (semisal pajak).
Dharibah ini dipungut dari kalangan kaya saja di antara kaum muslimin saja, saat kas negara kosong, dan dihentikan saat kas negara memadai.
Gambaran upaya negara dalam memenuhi kesejahteraan rakyat terpotret secara indah dalam kisah berikut ini.
Suatu hari, Umar ra. sedang patroli melihat langsung kehidupan rakyatnya. Ia mengetuk sebuah rumah kecil yang dihuni oleh seorang nenek tua.
“Wahai nenek, bagaimana pendapatmu tentang Khalifah Umar?” tanya Umar ra. kepada nenek tua tersebut.
“Semoga Allah tidak memberikan ganjaran kebaikan kepadanya,” jawab sang nenek.Mendengar jawaban si nenek tersebut Umar ra. tersentak. “Mengapa engkau berdoa demikian, wahai Nenek?” tanya Umar ra.
“Karena ia tak pernah datang kemari dan memberiku uang,” jawab si nenek.
“Tapi jarak rumah Umar kemari sangat jauh,” kata Umar.
“Dia seorang khalifah. Seharusnya ia tahu kondisi rakyatnya di mana pun rakyatnya tinggal.”
Khalifah Umar bin Khaththab seketika itu juga langsung meneteskan air mata. Batinnya tersentuh mendengar jawaban jujur dari nenek yang ada di hadapannya tersebut.
“Nek, bagaimana jika aku membeli dosa dan kesalahan dari Khalifah Umar kepadamu senilai 25 dinar?” tanya Umar ra.
“Kamu jangan bergurau denganku,” jawab si nenek sambil tersenyum.
“Aku tidak bergurau, wahai Nenek. Kasihan Umar jika harus menanggung dosa karena menelantarkanmu. Kasihan Khalifah Umar jika kelak menanggung siksa di akhirat karena kelalaiannya kepadamu.”
“Baiklah, terserah padamu saja,” kata nenek tua itu dan akhirnya dia menerima uang dari Umar.
Belum sempat Umar ra. berpamitan dengan si nenek tersebut, tiba-tiba seorang sahabat mendekat dan mengucapkan, “Assalamu’alaikum, wahai Amirulmukminin.”
Mendengar ucapan sahabat tersebut, sang nenek terkejut dan ketakutan. Ia baru tahu jika orang yang telah mengajaknya bicara adalah Khalifah Umar bin Khaththab.
“Oh, Tuan. Maafkan aku yang telah lancang mencacimu,” ucap si nenek sambil gemetar.
“Tidak apa-apa, wahai nenek. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu. Dosaku kepadamu telah aku tebus. Kelak, jangan menuntutku di akhirat,” jawab Umar kepada nenek tersebut. Nenek tersebut tidak lagi merasa bahwa Umar telah zalim kepadanya (Sumber: 77 Cahaya Cinta di Madinah).
Menilik kondisi saat ini, sistem ekonomi Islam merupakan solusi jitu untuk keluar dari kondisi akut akibat kapitalisme saat ini.
(pengajar di Lembaga Asysyifa)
Editor: Ek
Tidak ada komentar